Langsung ke konten utama

Penelitian Tindakan Kelas BAB II bagian B



B. Pola Keruangan Kota
1.   Pengertian Kota
Menurut  R.Bintarto, kota merupakan sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alamiah yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistik dibandingkan dengan daerah disekitarnya.
Menurut Grunfeld, kota adalah suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk lebih besar dari pada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan system penggunaan tanah yang beraneka ragam serta ditutupi oleh gedung-gedung tinggi yang lokasinya sangat berdekatan.
Berdasarkan peraturan mentri Dalam Negeri RI Nomor 4 tahun 1980, pada hakekatnya kota mempunyai 2 macam pengertian, yaitu:
  • suatu wadah yang memiliki batasan administratif wilayah, seperti kotamadya dan kota administratif sebagaimana telah diatur oleh perundang-undangan. Misal: Kotamadya Malang, kota administratif Jember, Bekasi dan sebagainya.
  • sebagai lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pemukiman.
2.   Ciri-Ciri Fisik Kota
Beberapa contoh bentang budaya yang menjadi ciri fisik yang khas bagi daerah pekotaan, terutama di kota-kota besar antara lain:
  • Wilayah perkotaan, supermarket, gedung-gedung perkantoran dan gedung-gedung fasilitas hiburan. Kompleks-kompleks bangunan tersebut biasanya terletak di pusat kota. Setiap hari daerah kota ini senantiasa sibuk sebab merupakan pusat kegiatan ekonomi penduduk baik di sektor perdagangan maupun di sektor pelayanan dan jasa. Di wilayah pusat kota besar banyak kita jumpai pusat perbelanjaan yang menyediakan kebutuhan masyarakat yang tinggal didaerah sekitarnya. Berdasarkan kemampuannya dalam melayani penduduk yang dating untuk berbelanja, Arthur B. Gallion dan Simon Eisner mengklasifikasikan pusat perbelanjaan dalam tiga kelompok, yaitu:Neighborhood Centre, yaitu pusat perbelanjaan yang memiliki kapasitas untuk melayani penduduk kota sekitar 7.500 sampai 20.000 orang. (a). Community Centre,yaitu  pusat perbelanjaan yang mampu melayani penduduk kota sekitar 20.000 sampai 100.000 orang. (b). Regional Centre, yaitu pusat perbelanjaan yang melayani penduduk kota sekitar 100.000 sampai 250.000 orang. (c). Gedung-gedung pemerintahan, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
  • Alun-alun yang terletak di pusat kota.
  • Tempat parkir kendaraan penduduk.
  • Sarana rekreasi masyarakat, terdiri atas rekreasi pendidikan (misalnya musium dan planetarium) sarana rekreassi hiburan seperti gedung film atau tempat-tempat hiburan lainnya, dan sarana rekreasi olah raga, seperti kolam renang.
  • Sarana olahraga misalnya sport centre, gelora, dan lapangan sepak bola.
  • Open space, yaitu daerah terbuka yang berfungsi sebagai paru-paru kota, biasanya berupa green belts atau jalur-jalur hijau, yakni pohon-pohon yang ditanam di sepanjang jalan, serta city gardens atau taman kota.
  • Kompleks perumahan penduduk yang terdiri atas : (a). Daerah pemukiman kumuh (slums area) yang dihuni oleh penduduk kota yang gagal atau kalah bersaing dengan penduduk lainnya dalam pencapaian tingkat kehidupan yang layak.
3. Ciri-Ciri Masyarakat Kota
Masyarakat kota memiliki ciri yang berbeda dengan dengan masyarakat kota. Beberapa ciri masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, antara lain :
  • Adanya heterogenitas sosial. 
  • Sikap hidup penduduk bersifat egois dan individualistik.
  • Hubungan sosial yang bersifat gesselschaft yang artinya bahwa hubungan sesama anggota masyarakat sangat terbatas pada bidang-bidang tertentu saja.
  • Adanya segregasi keruangan. Segregasi yaitu pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok atau kompleks-kompleks tertentu.
  • Norma-norma keagamaan tidak begitu ketat.
  • Pandangan hidup masyarakat kota lebih rasional dibanding masyrakat desa.

4. Klasifikasi Kota
Secara umum klasifikasi kota dapat dibedakan atas klasifikasi secara numerik dan klasifikasi secara non numerik.
a. Klasifikasi kota secara numerik (Kuantitatif).
Sistem penggolongan kota secara kuantitatif berdasarkan gejala pemusatan penduduk yang paling umum kita jumpai ialah yang dibuat oleh C. Doxiadis dan N.R. Saxena. Doxiadis mengklasifikasikan tingkat perkembangan kota berdasarkan gejala pemusatan penduduk menjadi 12 tahapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 01.

Tabel 01. Klasifikasi Kota secara Numerik
   No
Nama Tahapan Kota
Jumlah Penduduk Minimal
1.     
Dwelling Group
40 orang
2.     
Small Neighborhood
250 orang
3.     
Neighborhood
1.500orang
4.     
Small Town
9.000 orang
5.     
Town
50.000 orang
6.     
Large City
300.000 orang
7.     
Metropolis
2.000.000 orang
8.     
Conurbation
14.000.000 orang
9.     
Megalopolish
100.000.000 orang
10.  
Urban Region
700.000.000 orang
11.   
Urban Continent
5.000.000.000 orang
12.  
Ecumenepolish
30.000.000.000 orang

Menurut N.R saxena tahapan pemusatan penduduk kota adalah sebagai berikut:
  1. Infant  Town dengan jumlah  penduduk 5.000 sampai dengan 10.000 orang.
  2. Township yang  terdiri atas adolescent  township, mature township dan specialized township dengan jumlah penduduk antara  10.000 s/d  50.000 orang.
  3. Town city  terdiri atas adolescent  town, mature town, specialized town dan adolescent city dengan jumlah penduduk berkisar  100.000 s/d  1.000.000 orang.
Pemerintah  Republik  Indonesia  membuat penggolongan kota berdasarkan jumlah penduduk sebagai berikut (diolah dari Urban Population Growth of Indonesia, 1980-1990):
  1. Kota kecil, jumlah penduduk antara 20.000 s/d 50.000 orang jiwa. Contohnya Padang panjang (32.104 orang), Banjaran (48.170 orang).
  2. Kota sedang, jumlah penduduk antara 50.000 s/d 100.000 jiwa. Contohnya Sibaloga (71.559 orang), Bukit Tinggi (71.093 orang), Mojokerto (96.626 orang), Palangkaraya (99.693 orang) dan Gorontalo (94.058 orang).
  3. Kota besar, jumlah penduduk  antara 100.000 orang sampai dengan 1.000.000 orang. Contoh: Padang 477.064 orang; Jambi  301.430 orang; Cirebon 244.906 orang;Surakarta 503.827 orang; Kediri 235.333 orang.
  4. Metropolis, jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa. Contoh: Jakarta dengan jumlah penduduk 8.222.515 orang; Bandung dengan jumlah penduduknya 2.125.159 orang, Surabaya 2.410.417 orang dan Medan dengan jumlah penduduk 1.685.272 orang.
b. Klasifikasi Kota Secara Non Numerik (Kualitatif)
Sistem klasifikasi kota secara  non numerik dapat di artikan sebagai penggolongan yang di dasarkan atas unsur-unsur kualitatif dari suatu kota, kondisi social penduduk dan sebagainya:
  • Tahap Eopolis, yaitu tahap perkembangan desa yang sudah teratur, sehingga organisasi masyarakat penghuni daerah  tersebut sudah mulai memperlihatkan ciri-ciri perkotaan. Tahapan ini merupakan peralihan daari pola kehidupan desa yang tradisional kearah kehidupan kota.
  • Tahap Polis, yaitu tahapan dimana suatu daerah kota yang masih bercirikan sifat-sifat agraris atau berorientasi pada sektor pertanian. Sebagian besar kota-kota di Indonesia masih berada di tahap ini.
  • Tahap Metropolis, yaitu kota merupakan kelanjutan dari tahap polis. Tahapan ini ditandai oleh sebagian besar orientasi kehidupan ekonomi penduduknya mengarah kesektor industri. Kota- kota di Indonesia yang tergolong  pada tahapan metropolis adalah Jakarta, Bandung dan Surabaya.
  • Tahap Megapolis (kota maha besar) yaitu suatu wilayah perkotaan yang ukurannya sangat besar,biasanya terdiri atas beberapa kota metropolis  yang menjadi satu sehingga membentuk  jalur perkotaan. Balam beberapa segi kota megapolis telah mencapai titik tertinggi dan memperlihatkan tanda-tanda akan mengalami penurunan kualitas.
  • Tahap Tryanopolis, yaitu tahapan kota yang kehidupannya sudah di kuasai oleh triani, kemacetan-kemacetan,kekacuan pelayanan, kejahatan, dan kriminalitas yang bias terjadi.
  • Tahap Nekropolis, yaitu tahapan perkembangan kota yang menuju ke arah kematiannya.
Berdasarkan fungsinya kota dapat di bedakan:
  • Kota Pusat Produksi yaitu kota yang berfungsi sebagai pemasok barang-barang yang di butuhkan oleh wilayah lain. Barang-barang yang di suplay oleh kota produksi dapat berupa bahan mentah dan atau barang setengah jadi. Karena itu kota pusat produksi dapat dibedakan atas kota penghasil bahan mentah, seperti Bukit Asam dan Obilin (batubara), Bontang (LNG), Mojokerto (yodium) serta kota industri manufaktur (mengubah bahan mentah menjadi barang jadi dan setengah jadi) seperti Cilegon (industri besi dan baja), Bandung Raya (industri tekstil), Yokohama, Nagoya, Kobe dan Horoshima (industri berat).
  • Kota pusat perdagangan baik yang bersifat lokal maupun regional dan internasional. Contoh: Bremen pusat perdagangan tembakau, Singapura pusat perdagangan internasional, Philadelphia, pusat pelabuhan di Pantai Atlantik yang mengekspor batubara dan baja, Richmond pelabuhan perdagangan di USA yang banyak mengekspor tembakau dan kota-kota perdagangan di Indonesia.
  • Kota pusat pemerintahan: ibukota suatu negara merupakan contoh paling jelas untuk melihat fungsi kota sebagai pusat pemerintahan. Biasanya kantor-kantor lembaga tinggi beserta kantor pemerintahan tingkat pusat terdapat di ibukota negara yang bersangkutan. Contoh: Jakarta, Berlin, London, Istambul dan sebagainya.
  • Kota pusat kebudayaan, biasanya sangat berhubungan dengan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat. Misalnya kesenian tradisional, tata cara keagamaan, atau bentuk-bentuk budaya yang lainnya yang masih dipegang teguh oleh penduduk setempat. Contoh: beberapa kota di propinsi Bali, Yogyakarya, Surakarta dan beberapa kota di India sebagai pusat agama dan kebudayaan Hindu, Roma dan Vatikan sebagai pusat agama dan kebudayaan Kristen Katolik, serta Mekah sebagai kota pusat agama dan kebudayaan Islam.

8. Stadia Perkembangan Kota
Kritenia mengenai stadia perkembangan kota tentunya bermacam-macam. Salah satu menurut Griffith Taylor, yaitu:
  • Stadia Infantile. Dalam stadia ini antara daerah domestik dan daerah-daerah perdagangan tidak nampak ada pemisah. Demikian pula antara daerah-daerah miskin dengan daerah-daerah yang didiami para wartawan. Batas-batas kelompok masih sukar digambarkan. Selain daripada itu toko-toko dan perumahan pemilik toko masih menjadi satu sehingga dapat mengganggu jalannya penjualan. Apalagi jika toko-toko itu dan perumahan itu terdapat di sepanjang jalan yang ramai. Dalam keadaan yang demikian lalu lintas menjadi sangat terganggu. Trotoar dan jalur jalan sempit yang ada di muka toko akan menjadi arena permainan anak-anak kecil.
  • Stadia Juvenile. Dalam situasi ini dapat dilihat bahwa kelompok perumahan tua sudah mulai terdesak oleh kelompok perumahan-perumahan baru. Pemisah antara daerah pertokoan dengan daerah pemukiman sudah dapat dilihat dalam stadia ini.
  • Stadia Mature. Dalam stadia ini banyak timbul daerah-daerah baru, misalnya saja daerah-daerah industri, perdagangan berserta perumahannya yang sudah mengikuti suatu rencana tertentu.
  • Stadia Senile. Stadia ini dapat pula disebut stadia kemunduran kota, karena dalam stadia ini nampak bahwa dalam tiap zone terjadi kemunduran-kemunduran karena kurang adanya pemeliharaan yang mungkin dapat disebabkan oleh sebab ekonomis, politis, ataupun sebab-sebab lainnya.
9. Pemekaran Kota dan Permasalahannya
Bertambahnya penghuni kota baik yang berasal dari penghuni kota maupun dari arus penduduk yang masuk dan luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong di dalam kota. Masalah-masalah yang ditimbulkan sebagai akibat pemekaran kota adalah masalah perumahan, masalah sampah, masalah lalu lintas, kekurangan gedung sekolah, terdesaknya derah persawahan di perbatasan luar kota dan masalah administratif pemerintahan. Masalah-masalah yang banyak ini kemudian mendesak para perencana dan pengatur kota untuk segera dapat mengatasi masalah-masalah tersebut. Masalah yang bersifat fisik ini ternyata juga bersangkut paut dengan masalah sosial ekonomi.
Kurangnya data tampung perumahan bagi penduduk berpenghasilan kecil atau minim dan bagi para penganggur dan luar kota dapat memperluar daerah-daerah slum dan menambah jumlah orang-orang yang disebut para gelandangan. Kemudian timbul dan keadaan tersebut di atas pelbagai bentuk kriminalitas dan polusi yang sangat mengganggu ketenangan kota. Dengan demikian nampak bahwa gejala-gejala fisik, sosial, ekonomi yang negatif ini ditimbulkan karena makin berkurangnya daya tampung kota.
Segi positif dari perkembangan kota ada, misalnya mudahnya berpegian dengan kendaraan bermotor, mudahnya berhubungan dengan telepon,  mudahnya mendapat hiburan di gedung biskop dan masih banyak lagi. Pemekaran kota mempunyai arah yang berbeda-beda tergantung pada kondisi kota dan kondisi sekitarnya.
Daerah perbukitan, lautan dan rintangan-rintangan alam lanilla dapat menghentikan lajunya perkembangan kota maupun pemekaran kota. Daerah-daerah ini di anggap sebagai “daerah lemah”. Daerah lemah pemekaran ini merupakan tempat-tempat dimana proses pemekaran kota tidak dapat berkembang atau boleh dikatakan berhenti. Daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi yang baik akan merupakan daerah yang mempunyai daya tarik yang kuat untuk pemekaran kota.
Daerah-daerah di sekitar pegunungan dan laut yang merupakan daerah lemah, tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak dapat menarik penduduk. Daerah-daerah lemah tersebut juga masih menarik beberapa penduduk kota yang berpenghasilan kecil. Mereka mencari tanah-tanah yang murah harganya. Pada gambar 3 menunjukkan bahwa pemekaran kota berjalan ke segala arah. Kota-kota semacam mi cepat menjadi kota besar atau kota metropolitan, dan sekitarnya juga dapat timbul kota-kota satelit.
11. Pola Penggunaan Lahan Kota
Beberapa sarjana yang berkecimpung dalam studi kekotaan ini telah berusaha mengadakan uraian mengenai letak dan bentuk daerah permukiman di kota secara ideal Ernest W.Burgess, mengenai urban areas yang dikenal dengan teori pola zone konsentris.
Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa daerah kekotaan dapat dibagi dalam lima (5) zone, yaitu :
  1. Zone pusat daerah kegiatan atau Central Bistricts atau Loop. Dalam zona PDK ini terdapat toko-toko besar, bangunan-bangunan kantor yang kadang-kadang atau sering juga bertingkat, bank, rumah makan, museum dan sebagainya.
  2. Zone peralihan atau sering Disebut Zone Transisi. Zone ini merupakan daerah yang terikat dengan pusat daerah kegiatan. Penduduk zone ini tidak stabil, baik ditinjauh dari segi tempat tinggal maupun dari segi social ekonomi. Daerah ini dikategorikan dalam daerah yang berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan kota daerah ini akan diubah menjadi daerah yang lebih baik dan berguna, antara lain untuk kompleks perhotelan, tempat-tempat parker dan jalan-jalan utama yang menghubungkan inti kota dengan daerah-daerah di luarnya.
  3. Zone Pemukiman Klas Proletar. Nampak dalam zone ini bawah perumahannya sedikit lebih baik dari perumahan mereka yang bertempat tinggal di zone peralihan. Daerah-daerah ini didiami oleh para pekerja yang kurang mampu,rumah-rumahnya kecil dan daerah ini tidak begitu menarik. Zone ini dikenal dengan istilah Workingmen’s Home.
  4. Zone pemukiman Klas Menengah atau Residentatial Zone, ini merupakan kompleks perumahan dari para karyawan klas menengah, mereka memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik di bandingkan dengan perumahan di daerah klas proletar.
  5. Zone penglaju atau Zone Commuters, merupakan suatu daerah yang sudah memasuki daerah belakang atau hinterland. Penduduk dari daerah ini bekerja di kota. Mereka pergi ke kota dengan naik sepeda, naik bus, kereta api pada pagi hari dan sore harinya mereka pulang ke rumah masing-masing. Oleh karena itu zone ini disebut zone penglaju.




Gbr 02. Pola Keruangan Daerah Kekotaan Menurut Teori Konsentris
Pola keruangan seperti di atas bukan berarti sudah ideal, jadi tidak selalu tepat dengan nyata. Oleh karena itu kemudian timbulah teori yang lain seperti yang dikemukakan Homer Hoyt yang terkenal sebagai pembentuk teori sektor mengenai perkembangan daerah kekotaan.
Menurut teori ini perkembangan unit-unit kegiatan di daerah kekotaan tidak mengikuti zone-zone yang teratur secara konsentris atau melingkar tetapi dengan membentuk sektor-sektornya. Pembentukan menurut sektor-sektor ini meskipun masih ada kenampakan yang konsentris, tetapi sifatnya lebih bebas.
Homer Hoyt beranggapan dalam teorinya bahwa :
  • Daerah-daerah yang memiliki sewa tanah atau harga yang tinggi terletak di tepi luar dari kota.
  • Daerah-daerah yang memiliki sewa atau harga tanah yang rendah merupakan jalur-jalur yang mirip dengan roti tart,Jalur-jalur ini bentuknya memanjang dari pusat kota ke daerah perbatasan atau tepi kota.
  • Zone pusat adalah zone pusat daerah kegiatan (PDK).
Daerah-daerah industri berkembang sepanjang lembah sungai dan jalur jalan  kereta api yang menghubungkan kota dengan kota-kota di tempat lain sehingga dapat menimbulkan perluasan kota yang tidak konsentris melainkan meluas secara sektor.






Gbr 03. Pola Keruangan Daerah Kekotaan Menurut Teori Sektor
Selanjutnya Homer Hoyt beranggapan bahwa kota dapat berkembang melalui tiga cara:
Pertama, sebuah kota tumbuh secara menegak, ini disebabkan karena stuktur keluarga tunggal semakin lama menjadi struktur keluarga ganda. Dengan demikian tiimbul rumah-rumah flat atau apartemen yang memisahkan keluarga satu dengan keluarga lainnya. Bila perluasan keluar menjadi terbatas maka terjadi rumah-rumah flat yang bertingkat.
Kedua, sebuah kota yang masih memiliki cukup ruang kosong dapat diisi atau terisi oleh bangunan-bangunan perumahan dan kantor-kantor di sela kota.
Ketiga, sebuah kota dapat meluas dengan arah sentrifugal atau lateral keluar. Sebagai tambahan keterangaan dapat dijelaskan disini, bahwa pola perluasan atau pemekaran atau ekspansi kota dapat terjadi dalm 3 bentuk:
  • Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau perluasanya mengikuti jalur-jalur transportasi kearah daerah-daerah perbatasan kota
  • Daerah-daerah diluar kota yang terisolir semakin lama semakin berkembang juga dan akirnya menggabung pada kota
  • Dengan bergabungnya nucleus utama dengan nukleus-nukleus dikota kota kecil yang berada diluar kota dapat terbentuk konurbasi
Teori lain yang dikenal adalah Teori inti ganda atau Multiple Nuclei. Dalam teori ini pola keruanganya tidak konsentris dan seolah olah meruakan inti yang berdiri sendiri. Teori ni juga beranggapan bahwa tidak ada urutan-urutan yang teratur dari zone-zone seperti yang dianggap oleh teori konsentris .
Gbr. 04. Pola Keruangan Daerah Kekotaan Menurut Teori Inti Ganda
Dari beberapa teori diatas, kemudian muncul beberapa kritik, diantaranya yang dikemukakan oleh Maurice R. Devie dalam bukunya The pattern of Urban Growth. Keberatan-keberatan yang diajukan sebagai berikut:
  • Bentuk PDK tidaklah bulat, tetapi cendrung berbentuk segi empat atau persegi panjang .
  • Penggunaan tanah perdagangan meluar keluar secara radial sepanjang jalan dan memusat pada tempat-tempat tertentu yang strategis dan membentuk pusat-pusat sub atau sub centers.
  • Daerah industri terletak dekat jalan raya, dekat sungai sehingga tidak akan terjadi daerah-daerah industri  yang mengelompok.
  • Perumaan kelas rendah dapat di jumpai  dekat daerah-daerah indusri  dan transportasi.
  • Perumahan kelas rendah dan kelas  tinggi terdapat dimana-mana, jadi tidak akan terjadi pengelompokan-pengelompokan.
Kritik ini dapat dibenarkan juga, tetapi sudah di nyatakan lebih dahulu, bahwa teori Burgess adalah teori ideal sifatnya dan tentunya tidak selalu tepat, karena perbedaan kondisi geografis, ekonomi, kultral dan politik. Demikian dengan teori-teori lainya. Teori ini sebenarnya merupakan suatu usaha pendekatan akademis terhadap proses dan pola perkembangan daerah kekotaan.

B.       Penelitian relevan
Gusmalisa, dkk (2015). Penelitian berjudul “Penerapan Model Discovery Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Geografi”. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang pengaruh model pembelajaran discovery learning terhadap hasil belajar siswa kelas X SMA N 1 Merapi Barat Tahun Pelajaran 2014/2015. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Merapi Barat sebanyak 194, jumlah sampel sebanyak 64 siswa diperoleh teknik simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan tes. Analisis data yang digunakan adalah uji t. Hasil analisis data diperoleh adanya perbedaan yang signifikan rata-rata nilai gain pada kelas yang diberi perlakuan model discovery learning dan pada kelas yang diberi perlakuan metode ceramah, untuk nilai kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan proses pembelajaran dengan menggunakan model discovery learning berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi.
Istikomah, dkk (2014). Penelitian berjudul “Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Geografi Pada Materi Pemanfaatan Lingkungan Hidup Kaitannya Dengan Pembangunan Berkelanjutan Di SMA Batik 1 Surakarta TA 2013/2014”.  Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan: (1) Penerapan model discovery learning dapat meningkatkan kualitas proses belajar pada materi “Pemanfaatan Lingkungan Hidup Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan”. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan siklus I dan siklus II. Pada siklus I belum memenuhi persentase target capaian, yaitu sebesar 68,75% (target capaian sebesar 75 %). Akan tetapi, pada siklus II telah mengalami peningkatan sebesar 18,47% sehingga prosentase kegiatan peserta didik dalam siklus II telah memenuhi target capaian, yaitu sebesar 87,22 % (target capaian sebesar 75 %). (2) Penerapan model discovery learning dapat meningkatkan hasil belajar geografi pada materi “Pemanfaatan Lingkungan Hidup Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan”. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan siklus I dan siklus II. Pada siklus I prosentase peserta didik yang telah mencapai ketuntasan adalah sebesar 76,92 % dan meningkat pada siklus II menjadi 86,96 %.Nilai rata-rata kelas pada post test siklus I adalah 78,46 sedangkan nilai rata-rata kelas pada post test siklus II adalah 85,51.
Astuti. P. 2015. Penelitian berjudul “Penerapan Model Discovery Learning Dalam  Pembelajaran IPS Terpadu Pada Siswa  Kelas VII SMP Negeri 3 Colomadu  Tahun Ajaran 2014/2015”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) penerapan discovery learning dalam pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 3 Colomadu ditandai dengan siswa aktif di kelas, dan siswa terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar. 2) kelebihan penerapan discovery learning yaitu siswa sangat antusias dalam pembelajaran, dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk  memecahkan masalah, dan pengetahuan yang diperoleh siswa bersifat individual. Kekurangan discovery learning membutuhkan waktu yang  lama, tidak berlaku pada  semua tema/topik pembelajaran, karena materi IPS Terpadu sangat luas.
Handayani. S, dkk (2013). Penelitian berjudul “Peningkatan Aktivitas dan Kreativitas Belajar Geografi dengan Menggunakan Model Discovery Learning”. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas belajar dan kreativitas  belajar Geografi  siswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan model discovery learning. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan sebanyak tiga siklus, tiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi,yang bertujuan untuk memperbaiki  kualitas pembelajaran. Metode yang  digunakan  dalam  penelitian ini adalah diskusi, tanya jawab, dan kajian pustaka. Alat pengumpulan data menggunakan lembar pengamatan  aktivitas  belajar, lembar  pengamatan kreativitas belajar dan tes hasil belajar yang berupa soal uraian. Data dari hasil observasi dan tes formatif di setiap siklus menjadi dasar atau bahan perbaikan pada siklus berikutnya. Hasil  penelitian menunjukkan bahwa : terdapat peningkatan aktivitas belajar dankreativitas belajarsiswayang terlihat dari meningkatnya hasil belajar siswadisetiap siklus setelah penggunaan model Discovery Learning pada pembelajaran Geografi.

C.      Kerangka Berpikir
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh siswa-siswa di SMA Negeri 7 Medan khususnya untuk mata pelajaran geografi, diantaranya adalah kurangnya minat pelajaran geografi khususnya topik yang benyak mengandung teori. Pemahaman konsep siswa terhadap mata pelajaran geografi juga masih kurang.
Selain itu, metode yang digunakan guru kurang bervariasi. Proses belajar mengajar pun menjadi kurang kondusif. Akibatnya, guru mengalami kesulitan untuk membangkitkan minat belajar dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap mata pelajaran Geografi. Tujuan pembelajaran yang telah direncanakan pun tidak seperti yang diharapakan yakni jumlah ketuntasan belajar siswa yang rendah. Mata pelajaran geografi merupakan mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman konsep dengan benar dan sungguh-sungguh karena tidak hanya sekedar menghafal teori saja. Oleh karena itu, guru dituntut untuk dapat menggunakan model pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pemilihan model yang tepat diharapkan mampu mengajak siswa untuk dapat lebih mudah dalam memahami konsep atau materi dengan mudah. Salah satu metode yang dijadikan alternatif dalam mata pelajaran geografi adalah model pembelajaran discovery learning. Prinsip belajar yang nampak jelas dalam discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode discovery learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang  teacher oriented ke student oriented. Merubah modus ekspository siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus discovery siswa menemukan informasi sendiri.
Dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning ini diharapkan siswa menjadi lebih antusias dalam mengikuti pelajaran serta lebih mudah dalam memahami konsep pelajaran geografi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema kerangka berpikir di bawah ini.




                                                                                                              


Gbr.05. Kerangka Berfikir


D.   Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut : Penerapan model discovery learning dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi interaksi spasial antara desa dan kota kelas XII IS-3 SMA N 7 Medan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menentukan Letak Astronomis suatu Wilayah pada Peta

Letak atau Lokasi suatu wilayah berdasarkan lintang dan bujur disebut dengan letak astronomis. Garis Lintang 0 0 disebut dengan garis Khatulistiwa (equator) yang membagi bumi menjadi bagian utara yang disebut dengan Lintang Utara (LU) dan bagian selatan yang disebut dengan Lintang Selatan (LS). Garis lintang menjadi dasar pembagian iklim yang didasarkan pada sudut datang matahari, sedangkan garis bujur 0 0 yang berada di kota Greenwich membagi belahan bumi menjadi belahan bumi Barat yang dikenal dengan Bujur Barat (BB) dan belahan bumi Timur yang dikenal dengan Bujur Timur (BT). Garis bujur 0 0 yang dipergunakan sebagai dasar pembagian waktu di berbagai wilayah (negara). Garis lintang dan bujur merupakan garis khayal artinya kita tidak menjumpai garis ini secara nyata di bumi. Garis Lintang kenampakannya horizontal, sedangkan Garis Bujur kenampakannya vertikal pada peta atau globe. Berdasarkan konsep Geografi, letak/lokasi terbagi dua yaitu letak absolut dan letak relat

Mengubah Skala Garis Menjadi Skala Angka

Topik tentang skala merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah peta. Gambaran permukaan bumi yang relatif luas dapat digambarkan di sebidang kertas karena diperkecil dengan menggunakan skala tertentu, tergantung berapa kali luas yang sebenarnya diperkecil dan seberapa besar peta yang akan digambar. Semakin kecil peta yang akan digambarkan maka skalanya akan semakin besar, demikian sebaliknya. Misalnya sebuah peta X yang akan diperkecil 4x skala nya akan lebih besar dibandingkan peta yang diperkecil 2x. Skala adalah perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya/sesungguhnya di lapangan. Jadi dapat dirumuskan sebagai berikut : Untuk mencari jarak sebenarnya (JS) jika diketahui jarak pada peta (JP) dan skala (SK) adalah jarak pada peta dikali dengan penyebut skala. JS = JP x SK sedangkan mencari jarak pada peta (JP)  jika diketahui jarak sebenarnya(JS) dan skala (SK) adalah jarak sebenarnya dibagi penyebut skala. JP = JS/SK Skala yang sering dijumpai pada peta a

Menentukan Perbedaan Waktu antar Wilayah di Muka Bumi

Salam Geografi!! Saudara sekalian pasti pernah menonton siaran bola liga Inggris, Liga Spanyol atau Liga Eropa lainnya pada saat malam atau dini hari bukan?. Nah kalau kita bayangkan mengapa mereka main bola saat malam larut atau disaat kita di Indonesia sudah tertidur. Tentunya sebagai orang yang telah mempelajari geografi, tidak akan merasa heran lagi atau sudah memahami mengapa demikian. Bagi orang awam mungkin saja mereka berpikiran kalau memang pertandingan itu memang dilaksanakan pada jam saat menonton di Indonesia, padahal mereka itu main bola pada saat sore hari atau bukan larut malam. Dasar teorinya adalah Eropa berada pada belahan bumi Barat, sedangkan Indonesia berada pada belahan bumi Timur. Sehingga kalau di Indonesia malam hari, kemungkinan di Eropa Siang hari, demikian sebaliknya. Pada Postingan sebelumnya yaitu "menentukan letak astronomis suatu wilayah pada peta", telah disinggung mengenai garis lintang dan bujur.  Garis bujur menjadi dasar pembe