Ilustrasi Dunia di Genggaman Kita (via bacsense.com) |
Perkembangan zaman, kemajuan
teknologi dan penemuan media sosial telah memberikan kenikmatan tersendiri bagi
semua orang yang hidup di zaman modern ini. Komunikasi manusia seakan tidak ada
batasnya lagi di seluruh penjuru dunia. Dengan bermodalkan sebuah akun di media
sosial, kita sudah dapat ikut ambil bagian dalam perbincangan, komunikasi
dengan orang lain walaupun hanya lewat dunia maya. Kita bisa berkomunikasi
dengan seseorang yang jauh maupun dekat, orang yang kita kenal maupun tidak
dikenal, dan bahkan kita bisa mengintip aktivitas orang lain lewat akses
internet.
Komunikasi lewat media sosial
seakan tiada batasnya dan telah menjadi kebutuhan penting dalam kehidupan
manusia dewasa ini. Media sosial telah merambah ke dalam aktivitas manusia
sehingga segala yang dirasakan, dipikirkan dapat dibeberkan di media sosial
tersebut. Dengan demikian segala kejanggalan, keunikan, kejelekan diri kita
maupun orang lain menjadi sebuah pengalaman yang menjadi konsumsi publik yang
kadang justru lari dari sisi positif media tersebut. Sosialisasi yang tiada
batas tersebut seakan mendorong manusia untuk tampil lebih eksis, misalnya ikut
ambil bagian dalam trending topic
baik dalam komentar maupun status yang memuat pandangan pribadi.
Media sosial semakin lama
perannya telah bergeser ke arah negatif. Mark Zuckerberg (penemu Facebook) dan Jack
Dorsey (penemu Twitter) pastinya mengharapkan penemuannya itu menjadi alat
untuk membantu komunikasi diantara orang-orang yang berjauhan, media pemersatu (integrasi) bukan pemecah belah atau pemisah (disintegrasi).
Media sosial
yang pada dasarnya adalah sebuah media untuk bersosialisasi lewat dunia maya
(internet) pada dewasa ini telah banyak dijadikan alat untuk memprovokasi,
memfitnah, mencemarkan nama baik bahkan memecah belah bangsa. Misalnya saja
dalam pertarungan calon pemimpin di Indonesia. Topik tersebut menjadi topik hangat bahkan panas sehingga
media sosial dijadikan alat untuk mendongkrak popularitas dan menyikut lawan.
Kembali ke pertarungan calon
pemimpin semisal calon gubernur di DKI Jakarta yang menjadi berita populer di
media sosial belakangan ini, ada sebuah fenomena yang sangat krusial yaitu
terlalu mudahnya sebuah isu SARA memicu konflik yang sampai ke penjuru tanah
air Indonesia. Dalam peristiwa itu, semua orang yang memiliki akun media sosial
ikut dalam perang kata-kata, perang pembenaran diri, perang mempertaruhkan jati
diri dan perang pengetahuan. Ada kaum intelektual, kaum rohaniawan, kaum
politik dan lain sebagainya yang berdebat di setiap status atau informasi
tentang isu SARA dalam hal penistaan agama.
Beredarnya isu-isu SARA yang
sangat sensitif mencuat ke media sosial sehingga menimbulkan reaksi yang
sebagian besar mengarah ke pembenaran diri, pembelaan diri dipadu dengan
provokasi-provokasi. Berita yang berbau SARA ketika dipublikasikan akan merusak
toleransi bahkan merongrong kebhinnekaan Indonesia apabila tidak dicerna dengan
kepala dingin dan netral.
Isu SARA ibarat gempa bumi dasyat yang mampu menggoyang
dan merobohkan dasar negara Pancasila. Bayangkan saja, dua orang atau lebih
yang dulunya berteman karena disinggung dengan provokasi-provokasi tentang PILGUB
DKI menjadi memutuskan hubungan pertemanan bahkan saling membenci, saling
mengejek, saling membully hingga saling menghina. Sebuah fenomena yang memprihatikan
adalah seluruh masyarakat Indonesia hampir terlibat dalam pertikaian ini
padahal PILGUB DKI hanya terjadi di Jakarta.
Melihat fenomena tersebut, media
sosial menjadi salah satu faktor pendukung beredarnya informasi sehingga isu
SARA itu cepat meluas ke berbagai penjuru Indonesia bahkan dunia. Bayangkan,
tautan-tautan yang dibagikan/disebarkan di media sosial oleh seseorang tiap
detik, dibagikan oleh orang lain padahal belum tentu informasinya benar.
Milyaran pengguna media sosial membaca dan menyaksikan setiap informasi yang
beredar. Akhirnya sikap saling membenci semakin meluas ke wilayah lain dan
menjadi berita yang ditelan mentah-mentah sebelum ada bukti.
Perlu kita sadari bahwa kebenaran
suatu informasi dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan payung hukum yang
berlaku di Indonesia. Berita tentang isu SARA tersebut bisa saja benar, bisa
saja salah tergantung bagaimana setiap orang menanggapinya. Setiap berita
kadang menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda bagi setiap orang yang menonton,
mendengar ataupun membacanya. Jadi mungkin saja ada berita hoax yang mencoba menguji pemerintahan Indonesia, atau merusak
persatuan dan kesatuan bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Berpendapat di media sosial
merupakan hak setiap orang dan merupakan ciri demokrasi. Semua orang, baik dari
kalangan intelek, tidak berpendidikan, tua, muda, lelaki, perempuan dan
sebagainya memiliki kebebasan berpendapat yang sama dan punya porsi yang tidak
ditentukan karena semua manusia adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang
mulia. Namun kebebasan berpendapat sebaiknya dilandasi nilai dan norma, etika, musyawarah,
toleransi, persatuan dan kesatuan dan kedamaian agar pendapat yang berbeda
tidak memicu konflik, baik konflik pribadi maupun masyarakat.
Damai adalah Impian Semua Manusia (via twimg.com) |
Harapannya semoga kita bijak
menanggapi provokasi-provokasi tentang SARA di media sosial, dan hendaknya kita
jangan menyebarkan provokasi-provokasi SARA agar tidak terjadi perkelahian dan
perselisihan diantara masyarakat Indonesia yang heterogen sehingga persatuan
dan kesatuan bangsa tetap terjalin. Biarlah hukum yang akan menentukan
kebenaran dan keadilan. Supremasi hukum ditegakkan di Indonesia sehingga yang
bersalah akan dihukum. Dan dibalik itu Pancasila dan Bninneka Tunggal Ika tetap
menjadi Dasar dan Semboyan negara Indonesia. Baiklah kita meneladani sebuah kalimat dari Walt Whitman "Peace is always Beautiful" Jauhi disintegrasi, kita harus
tetap ber integrasi.
Salam Persatuan
By : Riadi Sihombing
NB : Hanya Sebuah Opini Pribadi,
Semoga layak dibaca dan dipedomani. Mohon maaf bila ada kata yang kurang
pantas.
Komentar